Oleh:
Rima Suryani (PT 30, Pendidikan Kewarganegaraan 2013)
Ku
bulatkan tanda cinta dengan spidol merah menyala di kalender yang terpampang
manis menghiasi dinding kosanku. Ku tandai hari yang paling ku nantikan, 14
Februari 2015. Hatiku bermekaran tidak karuan membayangkan melewati hari dengan
“si dia” yang kini begitu istimewa untukku. Seseorang yang kini menempati
singgasana hatiku. Belum lama ini kami memutuskan untuk menyatukan hati dalam
sebuah ikatan yang kata orang disebut “pacaran”. Aku tahu, hal yang ku lakukan
ini bertentangan dengan agama yang ku yakini. Namun... sekali saja aku ingin
merasakan hal yang kebanyakan anak muda rasakan. Aku ingin merasakan cinta yang kata orang begitu indah. Aku ingin
merasakan begitu bahagianya menerima sebatang coklat dan setangkai bunga di
hari kasih sayang itu. Setidaknya itu bisa membuat masa mudaku tidak berlalu
tanpa warna.
Dia bernama Farid. Seorang lelaki
yang begitu baik perangainya. Kami berjumpa ketika memasuki organisasi kampus
yang sama. Awalnya semua biasa saja. Sampai akhirnya ketika begitu banyak kegiatan
mempertemukan kami, getaran-getaran itu mulai terasa. Awalnya kami ragu untuk
menjalin kasih, karena kami tahu itu hal yang bertentangan dengan agama Islam.
Tapi keraguan itu semakin terkikis dengan banyak bisikan setan yang semakin
gencar. Alih-alih yang kami gunakan adalah selama pacaran yang kami lakukan
masih “sehat” pasti semua baik-baik saja. Toh, kami tidak melakukan hal yang
dilarang oleh agama. Aku juga percaya padanya akan menjagaku dengan baik,
karena di mataku dia adalah sosok yang cukup mengerti tentang agama.
Hari-hari yang kami lewati begitu bahagia
Penantian menanti datangnya hari valentine membuat kebersamaan kami terasa
semakin indah. Rencana-rencana merayakan “hari kasih sayang” pun mulai kami
buat. Ah, semua rencana itu membuatku semakin melambung menghayal jauh akan
indahnya hari itu.
***
“Kiran,
malam valentine kita pergi keluar yu. Tapi... berdua aja ya.”
“Hah?!” aku sedikit terkejut
mendengar ajakan itu. Tidak biasanya Farid mengajakku pergi hanya berdua.
“Kenapa? Kok kaget gitu? Kamu ga mau
ya pergi Cuma berdua sama aku? Aku kan bosen kalo pergi rame-rame terus.
Sekali-kali kita berdua aja.”
“Eh anu.. itu.. aduh... ah gimana
ya...”
“Emm... ya udah jangan dijawab
sekarang kalo kamu masih ragu. Aku tahu apa yang ada di pikiran kamu. Kamu
masih belum percaya kan kalo aku bisa ngejaga kamu.”
“Bu...bu..kan gitu... anu Farid,
itu...”
“Gapapa, pikirin aja dulu Ran. Aku
juga ga akan maksa kok. Tapi, sedikit kecewa aja kalo kamu ga mau. Mumpung kita
anak kosan, kan ga ada yang ngelarang kalo pergi malem juga. Ga kaya dirumah
Ran.”
***
Selepas
perbincangan itu aku dihadapkan pada dilema besar. Hati nurani dan pikiranku
terus bersitegang mencari jawaban atas ajakan itu. Ah, jika harus mengaku,
sejujurnya aku sangat berbunga-bunga mendapat ajakan itu. Tapi, nuraniku
mencoba berontak mengalahkan mabuk asmara yang sedang melanda jiwaku. Bukankah
aku tahu, Islam sangat melarang laki-laki dan perempuan pergi berduaan, apalagi
di malam hari. Akan tetapi, bisikan lain datang semakin membelai jiwaku untuk
terus mengembangkan benih-benih asmara itu. Ini merupakan kesempatanku untuk
merasakan hal baru seperti anak muda yang lainnya. Ditambah lagi, tidak ada
orang tua yang mengawasi dan melarangku untuk pergi seperti dulu ketika di
rumah. Aku bisa berbohong jika mereka bertanya dan mereka tidak akan tahu itu.
Akhirnya, setelah pergulatan batin
yang cukup hebat, nafsu mengalahkan logika dan nuraniku. Aku memutuskan untuk
mengambil HP dan mengirim pesan singkat ke Farid. Ku ketik keyboard di HP yang
akhirnya membentuk rangkaian kata, “Baiklah, aku mau pergi berdua denganmu.”
Tidak lama kemudian, nada HP ku bernyanyi dengan merdu. Ku tatap layar dan ku
baca balasan dari Farid. Ia tampak bahagia dari rangkaian kata yang ia
kirimkan. Entahlah, kebimbangan tadi seolah sirna seketika, ketika ku
membayangkan suka cita yang dirasakan oleh orang terkasihku.
***
PRAKKK!!! Bunyi celengan gajah yang
hancur berkeping-keping menggema di kamarku. Aku terpaksa harus menyakiti
celengan kesayanganku demi membeli coklat untuk Farid. Hari ini tepat tanggal
14 Februari. Kami akan saling bertukar hadiah sebelum berkencan nanti malam.
Ah, cinta memang melumpuhkan logika. Tabungan yang ku simpan untuk bekal kuliah
pun rela ku korbankan untuk dia yang tersayang.
Ku langkahkan kaki dengan riang
menuju toko kue yang sudah ku incar jauh-jauh hari. Langkahku terhenti ketika
ku lihat dua orang anak kecil berpakaian lusuh sedang menatap coklat di toko
tersebut melalui kaca jendela. Meliahat perawakannya, sepertinya mereka adalah
kaka beradik. Namun, aku tidak terlalu lama melihat tingkah mereka. Semua
perhatianku sudah tercurah untuk membeli coklat. Aku tidak mau Farid menunggu
lama.
***
Ku edarkan tatapan mataku ke semua
sudut taman kampus. Namun tidak kutemukan sosok itu. Tiba-tiba dari belakang
sesorang manutup mataku. Aku terkejut dan takut. Namun, perlahan orang itu
membuka tangannya kembali. Aku semakin terkejut melihat setangkai mawar merah
muda sudah di depan mataku.
“Selamat hari velentine Kiran...”
“Farid!!! Ngagetin aja, kirain orang
jahat!” ucapku pura-pura marah.
“Ia, orang jahat yang bakal nyuri
hari kamu hari ini. Haha”
“Uh gombal. Haha...”
“Tapi seneng kan di gombalin.
Haha...”
“Ini coklat buat kamu.”
“Weys keren! Bagus banget hiasan
nya. Coklatnya pasti manis. Tapi... tetep manisan kamu kayanya.”
“Kamu ini dari tadi ngegombal mulu.”
“Haha... ga apa-apa dong, sama pacar
sendiri. Aku juga punya coklat buat kamu. Ada suratnya lo... baca ya.”
“haha... pake surat-surat segala.
Mau so romantis. “
***
Kertas merah muda itu langsung
terpelas dari tanganku. Aku kira, kata-kata yang tertulis disana bisa membuatku
semakin bahagia. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Aku lemas membaca kata-kata
tersebut. Aku tak menyangka ia berani memintaku melakukannya.
“Kiran...”
ujarnya pelan.
“Kenapa syaratnya harus kaya gitu
Rid? Ap yang salah dengan ini?” ujarku menunjuk pada jilbab ku.
“Aku pengen sekali aja kita pergi
tanpa kamu memakai jilbab. Cuma sekali Ran.”
Mataku semakin berkaca-kaca
mendengar kata-kata itu. Apakah ia tidak sadar dengan apa yang ia katakan? Dia
yang ku kira “alim” begitu berani memintaku untuk melepas jilbab yang menjadi
kewajiban setiap wanita muslim. Rasa kecewaku mulai memuncak dan mulai
menyesakkan dada.
“Gimana Kiran? Ini kan hari kasih
sayang. Kita udah ngerancang hari ini jauh-jauh hari. Kamu mau ngehancurin
rencana itu? Aku Cuma minta sekali aja di hari special ini.”
“Aku kasih tau kamu nanti. Aku pergi
dulu Farid.”
***
Aku segera berlari meninggalkan dia
yang terdiam membisu. Entahlah aku akan kemana. Aku hanya ingin tempat sunyi
untuk menumpahkan kekecewaan ini. Tiba-tiba nada SMS di HP ku berdering. Ku
lihat itu pesan dari Farida, sahabat dekatku. Pesannya sungguh membuat hatiku
semakin sakit. Pesan yang benar-benar menjadi tamparan untukku. “Assalamua’laikum ukhti. Lagi dimana? Afwan,
sore ini ada kajian di masjid dalam rangka memperingati hari menutup aurat
sedunia. Kita berangkat bareng yu ukhti. Udah lama ga pergi kajian bareng
ukhti, rasanya kangen. Hehe... “
Astagfirlahhaladzim... aku terduduk
lemas membaca pesan itu. Sederhana, tanpa ada rayuan gombal seperti dia, namun
mampu menyentuh hatiku. Farida, ia begitu merindukan kebersamaan kami ketika
sering berangkat kajian bersama. Dia bahkan mengingatkanku akan momen penting
hari ini. Momen yang ku lupakan karena sibuk mengingat hari valentine.
Bagaimana mungkin aku malah sibuk merayakan valentine yang jelas dilarang dalam
Islam, sementara saudara-saudaraku sesama muslim di hari yang sama sedang
berjuang menegakan kembali ajaran Islam dengan gerakan menutup aurat ini. Aku
benar-benar malu Ya Allah.
***
Ku langkahkan kaki dengan gontai
menuju kosan. Ketika melewati toko kue tadi aku kembali bejumpa dengan anak
tadi, tapi hanya sendiri. Ia tampak bersedih. Kali ini ku coba untuk
menghampirinya. Aku mengajaknya untuk berbinacang dan bertanya mengapa ia
tampak begitu sedih. Ternyata, adiknya yang tadi kulihat sangat menginginkan
coklat yang ada di toko itu. Namun, uang yang ia miliki tidak cukup untuk
membelinya. Ia merasa sedih dan gagal membuat adiknya bahagia.
“Ini buat kamu. “ akhirnya aku
menyerahkan coklat yang tadi diberikan oleh Farid.
“Jangan ka... ini kan punya kaka.”
“Gapapa de. Oh ya, kaka juga punya
mawar buat kamu. Kasih ini ke adik kamu juga ya.”
“Wah... bunganya cantik banget ka.
Tapi...”
“Udah kamu terima aja ya.”
“Makasih banget ka...” anak itu
tampak begitu bahagia. Ia langsung memelukku dengan erat. Entah berapa kali ia
mengucapkan terima kasih lagi dalam pelukanku.
Hatiku merasa aneh. Aku merasa lebih
bahagia melakukan ini daripada ketika dengan Farid. Aku bisa merasakan tulusnya
kasih sayang yang ia miliki untuk adiknya. Kasih sayang yang membuat seorang
anak kecil rela berjuang mengumpulkan uang demi membuat adiknya bahagia.
Ya...kasih sayang yang begitu tulus. Tanpa syarat dan permintaan yang
menyakitkan.
***
Pesan dari Farida dan pertemuan
dengan adik tadi akhirnya bisa membuka mataku tentang makna kasih sayang yang
sebenarnya. Permintaan menyakitkan dari Farid yang menurutnya sepele juga
semakin membuka mataku yang selama terpejam. Aku tahu ini sudah terlampau jauh.
Jadi, harus segera di akhiri, meski ku tahu akan terasa sakit. Ku ambil secarik
kertas dan ku tuliskan untaian kata untuknya. Air mataku terkadang jatuh
membasahi kertas. Tapi... aku harus kuat.
***
Farid sudah menunggu di tempat yang
ku minta. Melihat penampilanku yang masih mengenakan pakaian lengkap dengan
jilbab, sepertinya ia sudah tahu jawaban yang akan ku berikan untuknya.
“Afwan ngebuat kamu nunggu lama.
Maaf aku ga bisa pergi sama kamu. Sore ini aku mau pergi kajian sama farida.
Ini untuk kamu.” Ujarku menyerahkan secarik kertas kepadanya.
Ia menerimanya tanpa banyak kata. Aku
langsung berpamitan pergi karena Farida sudah menunggu. Setelah berjalan
beberapa langkah, aku sempat berbalik dan mentapnya. Dia sedang membaca surat
yang kuberikan. Air mata ini hampir kembali jatuh. Kini... semua telah
berakhir. Aku memutuskan untuk melepasnya dan kembali menata hidupku untuk
lebih mengenal cinta-Nya. Surat itu... menjadi perantara untuk memisahkan
kembali hati yang belum halal untuk bersatu ini.
“Assalamua’laikum farid. Ketika kamu membaca surat ini,
mungkin aku sudah berjalan pergi menjauh darimu. Aku hanya ingin mengucapkann
terima kasih atas kebersamaan singkat diantara kita berdua. Aku bahagia bisa
mengenalmu. Terima kasih, kebersamaan itu banyak menyisakan pelajaran berharga
untukku. Namun, aku juga meminta maaf, aku tidak bisa menjadi seseorang seperti
yang kamu inginkan.
Farid, aku merasa terkejut sekaligus kecewa ketika kamu
memintaku untuk melepas jilbab ku meski itu hanya sehari. Aku tidak bisa
melakukan itu. Butuh perjuangan panjang dan lika-liku yang kuhadapi sampai aku
bisa belajar untuk istiqomah berjilbab seperti saat ini. Tapi... orang yang
kuharap bisa membimbingku untuk lebih istiqomah mengenal Islam, justru
memintaku untuk melakukan hal akan membuatku mundur kembali. Sebegitu mudahkan
aku dimatamu, farid?
Namun, kejadian itu akhirnya membuka mataku. Cinta bukan
hanya sekedar setangkai bunga dan sebatang coklat. Cinta harus didasari oleh
rasa cinta kepada-Nya juga. Aku kini menyadari, cinta kita salah dan harus
kembali menata hati masing-masing. Maaf, aku telah menjadi jalan untukmu
menduakan cinta-Nya. Kita harus kembali... seperti penggalan lagu dari Tashiru
ini...
Maafkanlah segala hilap yang telah kita lewati
Telah membawamu kedalam jalan yang melupakan Tuhan
Kita memang harus berpisah tuk menjaga diri
Untuk kembali jalani hidup dalam ridha ilahi...
Sekali lagi terima
kasih dan maafkan aku Farid. Semoga dengan kepergianku, kamu bisa kembali
menjadi dirmu yang dulu, dan aku pun begitu. Wasalamua’laikum...”