Laman

Karena Islam Milik Kita Semua

Jumat, 31 Oktober 2014

Budaya Kultural yang Sering Terlupakan Dalam Struktural


Oleh : Liling dwi Harini

Pemimpin adalah pelayan, pemimpin sebagai teman dalam berbagi solusi dan masalah, pemimpin sebagai syeikh dalam hubungan spiritual, dan Pemimpin seperti orang tua dalam hubungan emosional.
Terkadang pemimpin akan sibuk dengan hal-hal yang tak harus diurusinya, terkadang ia akan menjadi besar kepala ketika tak dibalut dengan iman, terkadang ia akan menjadi raja, mendengarkan namun langsung mengambil keputusan tanpa memberikan pilihan.
 
sumber: google
Pemimpin terkadang seperti anak remaja yang sulit mengambil kebijakan, adapun hal yang penting dan yang utama ialah pemimpin terkadang melupakan untuk menanyakan kabar pasukannya, kabar fisik, mental, ruhani, akademik bahkan ekonominya. Terlalu sibuk untuk menyelesaikan yang lain, pada akhirnya lupa untuk mengikatkan hati dengan  anggotanya.
Bekerja tanpa hati akan hampa. Hati adalah titik muara dimana beradu antara ikhlas dan kerja keras. Profesional itu pasti namun menyapa energi hati sebuah keharusan tuk ikatkan tali agar tak dicuri. Keterikatan hati akan membuat kerja menjadi nyaman. Ia akan menjadi bijak ketika hati dilihat. Solusi semakin dekat saat hati terikat.

Kukisahkan seorang sahabat yang hebat. Pemimpin yang bijak, bukan hanya gagah namun juga cerdas. Tak pernah berharap pamrih, berani meninggalkan pekerjaan demi amanah yang mulia. Tak pernah absen untuk menanyakan kabar hati anggotanya. Tak pernah mengeluh saat masalah menimbun pikirannya. Ketenangan hatinya dan keramahan sikapnya membuat bangunan yang kokoh di pusaran kepemimpinannya. Begitu indah ia menyapa staff-staff nya. Tak pernah berhenti memikirkan keadaan anggotanya. Terlantun do’a untuk mereka di setiap sujudnya. Menangis di atas sajadah ketika mendengar masalah dari salah satu staffnya, berharap Allah meringankan bebannya. Bersyukur padaNya saat mereka tersenyum bahagia dalam menjalankan masing-masing amanahnya. 1 tahun ia abdi untuk anggotanya karena ia sadar begitu singkat menjalani miniatur keluarga dalam struktur organisasinya.

Kata itu menjadi cinta atau benci. Tergantung siapa yang memakai dan memaknai. Benci takkan hilang ketika tak disapa oleh hati. Begitupun Cinta takkan pernah lelah jika ia setia.

Amanah utama seorang pemimpin adalah menciptakan sebuah keluarga yang nyaman. Maka ia butuh banyak waktu untuk duduk mendengarkan keluhan anggotanya yang akhirnya timbul kenyamanan karena terpecahkan solusinya. Terkadang ia harus menyelipkan satu waktu di sederet kesibukannya untuk berkomunikasi dengan anggotanya, bukan menanyakan amanah namun bertanya “sedang sehatkah hatinya?” lalu timbul kenyamanan karena merasa dirinya diperhatikan. Terlalu sulitkah untuk menyapa hati seseorang sampai menghilangkan budaya kultural? Mungkin Perlu keberanian untuk menghilangkan ego di dalam dirinya. Walau tak bisa seperti Imam Syafi’i yang mampu menghafal nama bahkan keadaan setiap orang yang ditemuinya, namun pemimpin yang baik adalah yang mau belajar dan memimpin sesuai zamannya. Maka kesimpulannya jika silaturrahmi dan komunikasi belum menjadi suatu kebiasaan, maka anda yang membaca tulisan ini hendaknya menjadikan keduanya sebagai budaya dalam strutural yang sering terlupakan.


Facebook Twitter Google+
Back To Top